Pages

Jumat, 24 Februari 2012

tulisanku


Kangen

Lewat angin malam
Ku kirim salam dihati
Maafkanlah aku
Belum bisa menemuimu

Ku mohon padamu, agar setia menunggu
Percayalah sayang, aku juga merindukanmu

Kangen
Aku kangen padamu
Rindu, ku ingin bertemu

Malampun sepi, terasa sunyi
Bertambah rasa rindu dihati
Kulihat bayangmu yang nampak semu
Sungguh berat kurasa rindu…

Puisi ku



 BALADA INDO JAWA... YAKIN???


Padang ilalang di tanah gersang... mengapa kau cuma diam????
debu yang dulu beterbangan.. kini pun jua...haaaaahhhh!!!!
apapun kau omel kan.. tak nak ku kan dengarkan,, yaaahhh!!!
keyakinan ini jauh terpendam di tangan.. sekuat gelombang apapun jua... takkan ku hentikan cerita ini.. mimpi bukan cuma mimpi...
tidur bukan cuma merem... sak kabeh iku ono maknane!!! ngerti kon!!

naliko siro melek ing wengi... lintang lan rembulan.. kabeh sing ono padane...
seperti matamu yang memancarkan api kegelisahan... mengapa terasa dingin... IKU TA SING DIARANI benua ES??? cuma begitu kah kekuatan batinmu....???

mboh opo jare liyan... tangan ku iseh nggegem roso kang memancar....

BELAJAR MEMBACA 2

Suci kah kau??? kau suci kah??
bila kau suci... sucikah diriku suci kau???
bila kau bukan suci,, maka dirikukah suci???
bukan....
jika kau pun dan aku pun bukan suci... maka siapaaaa?????

siapa suci??? mereka kah suci???
sucikah mereka yg berlaku tak adil dan rajin korupsi????

benarkah mereka??? berwajah suci... tak berbelas hati...

tak pantas pula ku bilang ku suci.. tak jua kau..
mereka pun tak....
jika adapun suci ... maka berkalang tanah mereka yang korupsi...
 tiada kisah para pencuri.. melenggang badan bernyanyi...

suci bukan mereka.. sungguh.. dan benar-benar .. WALLAHI MEREKA TAK SUCI!!!!

SUCI MILIK ILAHI....


"yofi prayoga"

Kamis, 23 Februari 2012

Tresno Tanpo Tondho

blas sun kuras wis samudraning waspo
Wosing panggah tresnamu tan montro
Sun saparing, saklimah, tengaraning wae
Kae Pamothat ujarmu kaladuk,
kedlarung uba rampe tresnaku...
Panggah tresnamu pungguh tanpo tondo...

Masasi warso mawindu-winduan (Misungsung)
Sun ungkal, sun unus idep pangroso (ngrasakke tondo)
Tak wutakke netro panamatku mung lumantar roso (Ngrasakke tondho)
Rekodoyo ponco indrio gyo wus tuntas tak singkurke
Mung mantheng sun tyaske sakabeh kang tak kasat ndriyo
Ujarmu

Isun makasih ngguyu ndriyo gang gawe kecele'...
Isun makasih panggah tuwin pungguh tuwin puguh tuwin nggugu driyo kang gawe kecele'.....

Cerita Sebuah Cover

             Ini cerita sebuah cover, alias sampul muka. Teramat penting memang posisinya, sangat dihargai dan diutamakan. Paling tidak mewakili isi dalam sebuah album rekaman, juga buku atau barang apapun. Cover bias juga pembungkus memang… Kali ini memang soal cover ebuah album rekaman. Dan bukan sebuah album rekamn biasa, maksudnya “musik yang biasa-biasa” saja. Ini album rekaman seorang seniman Sujiwo Tejo. Multi instrumentalis. Pelbagai aktifitas seni sudah dilakoninya. Seperti apa baiknya cover album rekaman seorang seniman “sekelas” Sujiwo Tejo? Itu dasar pemikirannya. Maka tiga orang asyik melempar ide, dengan argumentasi masing-masing. Semua sebenarnya ujung-ujungnya kepengen dapat memancing orang untuk membeli album rekaman ini. Lantas, kita akan “grab” pasar yang mana sih?

          Ada ide lukisan karya Tejo sendiri tentu. Tejo mengangguk setuju. Lukisan yang mana? Ditunjuk lukisan ini, ini lukisan Petruk kan? Tejo senyum dan agak kaget, lho kok kamu tahu ini Petruk? Tapi dia buru-buru menjawab lagi, pas juga album ini dengan cover tersebut. Petruk kan tokoh yang bias mewakili isi albumku ini, ucap Tejo.
 
Lalu datang lagi ide, jngan lukisan. Kenapa? Terlalu “berkelas”. Kenapa memangnya? Karena nanti susah dimaknai oleh kebanyakan orang. Gambar lukisan, kesannya terlalu segmented gitu. Tapi nanti dulu, aku berpikir justru karma figurnya Petruk, bukankah menjadi lebih cair dan “merakyat”. Tunggu dulu…eit tunggu dulu…

Argumentasi makin menyala-nyala. Tapi ingat saja, semua tetap berniat baik kok. Dan ketika dilempar kembali ke sang seniman, Sujiwo Tejo sendiri, dia langsung menjawab,”Kalian tentukanlah. Jangan aku. Aku Percaya, hasilnya pasti baik dan bermanfaat. Pasti niatnya kan baik?”
Alhasil dipanggil semua musisi, beberapa rekan dekat, kerabat. Disuruh menilai, konsep mana yang terbaik. Jadinya semua menerima, foto diri Tejo dengan kostum unik merah-putih bergaris, “jas” hitam. Ala Madura? Pas dong dengan figure Tejo? Juga karena lebih unik, iseng, lucu dan pasti akan gampang diterima semua kalangan…..
Ide di bawa ke bagian design. Di tangan “mbah” Elia, sang designer jadinya memang ditafsirkan lebih “iseng”. Tidak diambil yang frontal menghadap ke depan, tapi menyamping dan tertawa lebar. Tambahin kumis dong yang melintang! Mbah sigap mengakali Tejo jadi berkumis tebal….
     
           Lebih unik, proses terjadinya foto yang lantas menjadi cover. Karena konsep menymping tidak ada dalam scenario sebenarnya. Itu ide iseng dari fotografer, seorang hobbyist serius perempuan bernama Nelly dan….sang “art director” (kebetulan si art director dadakan tersebut adalah “mantan” fotografer). Foto outdoor tersebut setelah berbagai gaya, nah terakhir si “art director” iseng aja, “Tejo coba kamu menyamping, mbak Nelly ambil dia deh sambil duduk menyamping begitu.” Jeprat jepret, itulah frame-frame “gaya” pamungkas session foto pada sore itu!
Jadilah foto-foto dalam file dikirimkan ke Mbah Elia. Diolah mbah, dipilah-pilih. Jadinya seperti yang semua bias lihat.
 
Pokoke ujungujungnya kan baik dan benar, begitu senyum Tejo ketika melihat “hasil final”, setelah lewat proses ramai tapi tetap “santun” dan damai. Pas kan, damai yuk damai, berjuang tapi tetap santai...

"Antara Yayang dan Yang Mulia"

WAYANG DURANGPO EPISODE 131"

 
GARENG, Petruk, dan Bagong baru saja diangkat menjadi hakim.

Selanjutnya ... malah sebelum itu ... banyak hal-hal ganjil sudah terjadi walau mereka belum resmi punya gawean memutus perkara. Masyarakat tidak saja berebut menawari payung di jalanan ketika hujan agar badan mereka tidak kuyup alias kebes. Mobil, rumah, bahkan pesawat terbang tak jarang ingin dipersembahkan oleh para warga hitam kepada ponokawan itu.

Semuanya sebelum mereka dilantik lho ... Bayangkan kalau sudah dilantik pakai menyumpah-nyumpah segala. Mereka tampik semua itu tanpa rasa ganjil. Semua tak mereka anggap sebagai
 sesuatu yang aneh. “Wajar. Namanya juga calon hakim. Pasti banyak penduduk ingin menyodor-nyodorkan hartanya,” tandas Gareng. “Tapi kita harus kukuh pada prinsip. Seorang hakim terima ulungan payung saja tidak pantas ... apalagi mobil ... apalagi pesawat ....”

Petruk dan Bagong mengiyakan.

Yang bikin mereka merasa aneh justru panggilan “Yang Mulia”.

“Namaku di KTP sudah jelas-jelas Bagong, kenapa aku dipanggil Yang Mulia? Panggil saja Yang Bagong ... Iya kan?”

“Betul, Yang Gong. Nanti kalau ada istriku Dewi Undanawati hadir di persidangan, terus dia dengar ... Kalau dia latah bagaimana ... pas di rumah ikut-ikutan manggil aku bukan Mas Petruk lagi tapi Yang Mulia ... hmmm .... Sudah nggak ada mesra-mesranya lagi.”

Gareng, setelah berpikir lama, berniat meneliti sejak kapan para terdakwa memanggil hakim dengan predikat “Yang Mulia”. Maklum, keti ganya belum pernah menyaksikan persidangan. Dididik secara formal untuk menjadi hakim pun mereka belum.

Ketiganya didaulat menjadi hakim oleh masyarakat yang mendambakan keadilan bukan karena mereka ditempeli berbagai gelar kesarjanaan hukum. Jangankan cuma satu titel, wong sekolah menengah saja ketiganya tak tamat. Sebagian anggota masyarakat putih membaiat ponokawan menjadi penjaga pilar keadilan karena mereka dikenal jujur dan adil.

Prinsip mereka, “Sebelum hujan, sedia payung. Sebelum masyarakat main hakim sendiri, mari main hakim bersama, yaitu bersama hakim yang jujur dan adil.”
***
Tidak pernah menghadiri sidang pengadilan tidak berarti belum pernah mendatangi sidang jenis lain. Sidang seseorang untuk menjadi doktor, secara kebetulan, pernah mereka kunjungi. Gareng ingat, calon doktor memanggil para pengujinya dengan predikat “Yang Amat Terpelajar”.

Anehnya, waktu itu Gareng dan adik-adiknya tidak merasa aneh. Setidaknya tak seaneh panggilan “Yang Mulia”.

Gareng, ponokawan yang paling gemar berpikir, tiba-tiba juga ingat bahwa “Yang Mulia” pernah disapakan kepada Soekarno. “Tapi tidak senanggung Yang Mulia ... Di depannya dikasih embel- embel Paduka... Jadi lengkapnya Paduka Yang Mulia,” renungnya.

“Betul. Apa-apa kalau serba nanggung memang nggak enak,” Bagong angkat bicara.

“Aku kalau lagi olah asmara dengan istriku juga ndak pernah nanggung, tuh,” ujar Petruk. “Semua harus tuntas. Tapi, kalau dia manggil aku dengan Yang Mulia ... Hubungan akan jadi kaku. Bagaimana bisa tuntas?”

***
Selidik punya selidik, ternyata Gareng menemukan data bahwa “Yang Mulia” dipakai pertama kali oleh terdakwa Cantrik Janaloka dari Pertapaan Andong Sumawi.

Ceritanya, Sang Pertapa menyuruh Janaloka agar mengawal cucunya, Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati, pergi ke kota mencari sang ayah, Raden Arjuna, meski penengah Pandawa itu belum pernah menikahi resmi ibu keduanya. Waktu itu Mahkamah Konstitusi sudah bikin keputusan seperti dalam kasus Machica Mochtar, ayah boleh tidak sah, tetapi anak tetap sah sebagai anak.

Berangkatlah kedua putri gunung itu ke kota. Eh, di tengah jalan ada “pagar makan tanaman”. Kedua cucu pertapa itu akan diperkosa oleh Cantrik Janaloka. Padahal, Janaloka dikenal sebagai tokoh spiritual yang kerap berdakwah anti kemaksiatan.

Tapi, temuan Petruk dalam penyelidikan yang dipimpian Gareng itu lain lagi. Menurut suami Undanawati ini, panggilan “Yang Mulia” pertama kali dipakai oleh terdakwa Prabu Jayamurcita dari negeri Palangkawati.

Waktu itu Palangkawati termasuk dalam wilayah negara Mertani yang dipimpin oleh raja jin Yudistira. Suatu hari Pandawa menaklukkan kerajaan jin tersebut dalam lakon Babad Wanamarta alias Babad Alas Mertani. Jin Yudistira takluk. Arwahnya manunggal dengan Puntadewa sehingga Puntadewa juga dijuluki Prabu Yudistira. Anehnya, Prabu Jayamurcita tak mau takluk.

Alasan Jayamurcita, jin Yudistira mau manunggal dengan Prabu Puntadewa karena Pandawa berjanji untuk “katakan tidak pada korupsi!”.

“Jadi, bukannya saya membangkang, Yang Mulia. Tapi saya ingin bukti. Kekuasaan Pandawa ini baru beberapa jam. Kalau Pandawa memang bisa membuktikan katakan tidak para korupsi ... Wah, Yang Mulia, dengan senang hati Palangkawati akan bergabung dengan negara Mertani, Yang Mulia ...,” bela diri Jayamurcita di persidangan.

Dia duduk di kursi yang mirip kursi Angelina Sondakh, yang juga sama-sama memanggil hakim dengan “Yang Mulia”.

***

Lain lagi temuan Bagong dalam penyelidikan arahan Gareng. “Yang Mulia” ternyata semula digunakan oleh Batara Kala pas disidang atas penganiayaannya terhadap Jaka Jaktus dalam lakon ruwatan Murwakala.

“Kenapa Saudara Terdakwa hendak memangsa Jaka Jaktus alias Jatusmati alias Jaka Mulia ...? Padahal, jelas-jelas Jaka Mulia sudah mandi air telaga Nirmala?” tanya Tuan Hakim.

“Yang Mulia itu anak satu-satunya si jomblo Randa Sembada alias Randa Semawit. Meski sudah bersuci di sendang Nirmala, dia anak satu-satunya Janda Semawit. Artinya anak Ontang-anting. Ontang-anting termasuk dalam daftar menu yang diiming-imingkan dewata kepada saya. Maka Yang Mulia akan saya mangsa saja ....”

“Hah? Kamu akan membunuhku?” ketiga hakim membatin dan tampak bingung.

Padahal, yang dimaksud Batara Kala dengan “Yang Mulia” adalah “Jaka Mulia”.

Bagi Gareng, panggilan “Yang Mulia” terhadap hakim memang bisa jadi seperti rayuan. Rayuan itu “membunuh”. Lebih “membunuh” hakim ketimbang hutang budi karena dipayungi.
 
                                                                                                                  

kutipan dari : http://sujiwotejo.com/

FENOMENA KARTU DI MADRASAH


FENOMENA KARTU DI MADRASAH

            Playing Card atau di Indonesia sering disebut Kartu Remi, mungkin datang dari Timur, Mesir atau Arab lalu  muncul di Italia (dalam bentuk Tarot/Taroochi ) kira-kira akhir tahun 1200-an. Setelah itu menyebar ke Jerman, Prancis, dan Spanyol.
            Di Indonesia kebanyakan mengenal permainan kartu, entah orang tua, remaja, bahkan anak-anak.  Hal yang lebih miris lagi, siswa Madrasah Aliyah Negeri Kediri 3 pun memainkan permainan kartu madrasah. Hal ini diketahui pihak madrasah setelah melakukan sidak (17/02)sekitar pukul 07.45 pagi. Yang melibatkan tim Tatib, mereka menyusuri madrasah dan memasuki kelas-kelas. Dari tindakan tersebut pihak madrasah khususnya tim Tatib memperkirakan hampir seluruh kelas memiliki kartu remi dan 80% siswa pernah memainkan permainan tersebut.
           Menurut RM (17) seorang siswa dari Madrasah yang terletak di Jalan Letjend Suprato 58 tersebut , sebenarnya para siswa melakukan permainan itu untuk menyegarkan pikiran yang penat akibat kegiatan KBM yang padat. Dan lagi guru seharusnya tidak menyita kartu remi, karena di dalam Tata Tertib kartu tidak di cantumkan, tambah kodjen.
Mungkin ini juga masukkan bagi Madrasah untuk mencantumkan kartu remi dalam Tata Tertib guna membangun karakter pemuda yang berbudi luhur.

Jumat, 03 Februari 2012

Cerpen : "DANI"

Dani

        Ini adalah kisah seorang anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya. Dia dilahirkan sebagai anak pertama di sebuah keluarga miskin. Kedua orang tuanya adalah perantau yang tidak memiliki penghasilan tetap, sejak kecil dia diasuh oleh kakek neneknya. Pada usia satu tahun, dia sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya pergi ke kota untuk mencari nafkah, dia tinggal didesa kecil bersama kakek dan neneknya.
        Hingga usia dua tahun, dia belum pernah merasakan hangatnya kasih sayang orang tuanya, suatu ketika saat berjalan-jalan, dia melihat anak-anak lain tengah bermain ditanah lapang bersama orang tua mereka masing-masing. Anak kecil ini merasa heran dengan apa yang dilihatnya, dalam hati dia berkata,”mengapa aku berbeda? Kenapa aku tidak bisa bermain seperti mereka?....” dia terus bertanya-tanya dalam hatinya.
        Sesampainya dirumah,dia bertanya pada kakeknya,”mengapa aku tidak bisa bermain dengan kedua orang tuanya?” ucap anak itu. Mendengar pertanyaan cucunya, kakek tersebut terdiam, tiada sepatah kata yang keluar dari mulut sang kakek, kakek itu menangis menatap cucunya. Melihat sang kakek yang menangis, anak itu makin heran. Mengapa dia berbeda, mengapa dia tidak bisa bermain seperti anak-anak lain??, Ucap anak itu dalam hatinya.
        Sejak melihat kakeknya menangis, dia tidak pernah mempertanyakannya lagi, namun pertanyaan itu tidak hilang begitu saja. Pertanyaan itu masih tersimpan dalam hatinya hingga dia dewasa. Saat usianya tiga tahun, dia melihat anak-anak lain berangkat sekolah bersama orang tua mereka.
        Kemudian dia berkata pada kakeknya, dia juga ingin bersekolah seperti anak-anak lain. Mendengar perkataan cucunya, sang kakek berkata,” Nak dengarkan kakek, usiamu masih belum cukup untuk masuk sekolah”, mendengar jawaban sang kakek anak itu menangis. Dia terus saja berkata,” aku ingin sekolah, aku ingin sekolah”…sambil menangis dengan nafas yang tidak teratur, anak itu terus berkata kalau dia ingin sekolah. Melihat cucunya yang menangis tersedu-sedu, sang nenek tersentuh, kemudian dia mendekati cucu pertamanya itu, sang nenek menggendong cucunya, nenek itu berkata,”akan ku antar kau pergi ke sekolah…” Mendengar ucapan sang nenek, anak itu berhenti dari tangisnya, dia memeluk nenek yang disayanginya, dia berterima kasih pada neneknya.
        Keesokan harinya, dia berangkat ke sekolah bersama neneknya. Sampai disekolah nenek dan cucunya itu, masuk ke ruang kepala sekolah, nenek itu mengungkap apa yang menjadi tujuannya datang kesekolah itu bersama cucunya, mendengar penjelasan sang nenek, kepala sekolah itu langsung menerima anak itu menjadi salah satu murid di sekolah itu. Anak itu sangat senang mendengar bahwa dia sudah boleh bersekolah seperti anak-anak lain. Malamnya dia terus menantikan hari yang dia impikan, dia terus berkata dalam hatinya ,”besok aku sekolah, aku akan sekolah…”, anak itu terus berkata dalam hatinya.
        Hingga tiba hari yang dia nantikan,hari dimana dia akan sekolah, dipikirannya hari itu dia akan berangkat ke sekolah bersama orang tuanya seperti anak-anak lain, dia berpikir jika dia bersekolah, maka orang tuanya akan datang dan mengantarnya pergi ke sekolah, namun itu hanya khayalan baginya. Orang tuanya tidak datang untuk mengantarnya. Dia pergi ke sekolah diantar  neneknya.
        Ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya, namun itu tidak mengurungkan niatnya untuk bersekolah. Pada usia tiga tahun dia telah bersekolah di sebuah taman kanak-kanak yang berada tidak jauh dari rumahnya, kurang lebih satu setengah tahun dia belajar disekolah itu.
        Saat wisuda, kedua orang tuanya pulang dari kota, setelah bertahun-tahun meninggalkan anak itu bersama kakek neneknya, mengetahui kedua orang tuanya telah kembali, anak itu yang saat itu tengah di wisuda tanpa peduli dengan sekitarnya, dia berlari menu kedua orang tuanya, suasana ditempat wisuda itu tiba-tiba berubah menjadi haru, semua orang yang melihat kejadian itu meneteskan air matanya.
        Sesaat kemudian, acara wisuda tersebut dilanjutkan, hingga pada saat pembacaan gelar siswa terbaik sekolah itu, lalu sebuah nama disebut. Nama yang terdengar menggelikan jika dijadikan nama seorang siswa terbaik sekolah, hingga tiga kali pembawa acara menyebut nama itu.
        Namun pemilik nama itu tidak segera naik ke atas panggung, seakan tak percaya bahwa namanya telah disebut. Hingga seorang wali dari siswa lain memanggilnya untuk segera maju “Dani…!!, apa yang kau tunggu nak? Namamu telah disebut telah dipanggil, segeralah naik keatas panggung!!!”. Anak itu gugup mendengar namanya disebut, kemudian sekali lagi pembawa acara memanggil nama itu dengan lengkap,”Dani putra Ardika”, sebut pembawa acara wisuda itu.
        Kemudian anak itu maju ditemani ayahnya untuk mengambil penghargaan yang baru saja diraihnya, anak itu tidak dapat bertutur kata sepatahpun, dia masih belum percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Namun raut muka yang biasanya tertunduk penuh beban, hari itu telah tegak menghadap para hadirin yang berada ditempat itu, anak itu telah mendapat hadiah terindah pada hari terakhirnya disekolah. Hanya satu kalimat yang terucap dari bibir kecilnya, “orang tuaku telah kembali..orang tuaku sudah pulang!!!”, mendengar ucapan anak itu, segenap hadirin ditempat itu, berdiri serentak memberi selamat pada anak itu.
        Hari itu adalah hari paling membahagiakan baginya. Usai acara itu, anak itu pulang bersama kedua orang tuanya dan kakek nenek yang telah mengasuhnya selama ini. Anak yang selama ini selalu terdiam sendiri, kini dapat bermain bersama teman-temannya. Dani, begitulah orang-orang disekitarnya menyapanya.
Dua tahun telah berlalu semenjak hari wisuda itu, Dani telah memasuki tahun kedua disekolah barunya, dia tumbuh menjadi anak yang pandai bergaul dan bicara, dia tidak pernah merasa canggung berbincang-bincang dengan orang dewasa atau yang baru saja dikenalnya. Tiada yang menyangka bila hari itu telah merubah pribadinya.
Suatu ketika saat diadakan tanya jawab antara guru dan murid disekolahnya, ada seorang guru yang bertanya pada murid-murid, ”anak-anak,apa yang membuat kalian kesulitan dalam menangkap pelajaran,,apa yang menjadi beban kalian dalam menerima pelajaran??”, tanya guru itu. Semua anak terdiam, mereka tidak tau apa yang harus mereka katakan, lalu terdengar suara kecil menyahut dari belakang, ”pak guru, apa kami boleh mengutarakan apa yang tidak kami sukai dari sekolah ini?”, “tentu nak”,,sambung guru itu. Seketika itu, semua orang menoleh kebelakang, mencari tahu, suara siapa yang baru saja merka dengar. Itu adalah suara anak yang beberapa tahun silam mengisi hari-harinya dengan kesendirian.
Semua orang kaget dan kagum melihatnya, seorang anak kecil yang baru saja naik ke kelas dua di sekolah dasar, telah meneriakan suaranya di depan semua murid dan guru di sekolah itu, kemudian dia mengutarakan semua yang dianggapnya menjadi bebannya dan teman-temannya. Kejadian itu adalah salah satu bukti, bahwa Dani telah berubah, dari anak yang pendiam dan sulit bergaul, menjadi anak pemberani yang mempunyai pengaruh bagi teman-teman disekitarnya.
Beberapa bulan kemudian, masalah terjadi. Orang tua anak itu akan kembali berangkat meninggalkan putra semata wayang mereka. Baru dua tahun dia merasakan kehangatan keluarganya, tapi dia harus kembali hidup jauh dari kedua orang tuanya, bersama kakek dan neneknya. Itu membuatnya kembali menjadi anak pemurung, dia berubah menjadi anak yang keras kepala dan sulit diatur. Hingga suatu hari dia bermain dengan salah seorang temannya, saat itu salah seorang temannya memintanya untuk meminjamkan bola yang ada ditangannya, anak itu tidak memberikan bola itu. Dia terus saja memainkan bola itu sendiri. Temannya berniat meminjamnya untuk digunakan bermain bersama, namun dia masih saja memainkan bola itu sendiri. Seorang teman yang berniat merebut bola itu, mengambil bola itu dengan paksa. Anak itu menjadi emosi, dia mendorong temannya hingga jatuh. Kemarahannya semakin menjadi-jadi saat teman-teman lain mengolok-ngoloknya. Kejadian itu berlalu begitu cepat, dia tidak menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Dia baru saja melayangkan genggaman tangannya ke muka salah seorang temannya. Beberapa saat setelah kejadian itu, dia dipanggil ke ruang guru. Dia ditatar oleh salah seorang guru, tiada satu katapun yang keluar dari mulutnya. dia minta maaf pada teman yang baru saja dia pukul.
Keesokaan karinya, kakeknya dipanggil ke sekolah. Guru yang kemarin menatarnya, hari ini mempertanyakan apa yang baru saja dia alami, hingga dia memukul temannya. Kakeknya menjelaskan semua pada sang guru, guru itupun mengerti apa yang dirasakan Dani. Kejadian hari kemarin terdengar hingga satu sekolah, predikat Dani yang dikenal santun dan pengertian, saat itu juga berubah menjadi Dani yang keras kepala dan kasar.
Tiga bulan kemudian, ibunya pulang dari perantauan. Anak itu berubah menjadi pribadi yang kasar dan keras kepala. Ibu yang tidak mengerti dengan sikapnya, menanggapinya dengan cara yang salah. orangtuanya semakin menekan anak itu. Anak itu akan berubah menjadi anak yang lebih baik, begitu anggapan mereka. Tapi tidak, yofi semakin keras dan kasar, dia makin menjadi anak yang keras kepala dan tidak menuruti kehendak orang tuanya.
Hari berganti hari, waktupun terus berlalu. Dani yang duduk dikelas 2 SD tinggal menghitung hari untuk siap menghadapi ujian kenaikan kelas. Tidak ada perubahan yang berarti dalam dirinya, dia masih keras kepala. Hari ujian tinggal lima kali dua puluh empat jam. Tiga hari sebelum ujian, bibinya akan menikah dua bulan lagi. Dani sangat senang mendengar kabar itu, sudah tiga tahun dia tidak berkunjung kerumah kakeknya diluar kota.
Beberapa hari kemudian hari ujian tiba, Dani mengerjakan semua soal dengan baik. Selesai penerimaan hasil belajar, anak itu berangkat bersama ibunya ke rumah bibinya yang akan menikah.
Anak itu tertidur di sepanjang perjalanan. Mungkin karena lelah, sampai dia tertidur dijalan. Sampai rumah kakeknya, semua anggota keluarga telah berkumpul, anak itu sangat senang bisa bertemu semua kerabat yang sudah tiga tahun tidak bertemu. Hari yang membahagiakan itu berlalu dengan cepat. Hari pernikahan yang ditunggu telah terlewat, semua anggota keluarga ikut berfoto di acara itu. Beberapa hari setelah pernikahan itu, anggota keluarga yang lain pulang kerumah masing-masing, tinggal Dani dan ibunya.
Anak itu menemukan suasana yang berbeda dirumah bibinya itu. Dia memanfaatkan hari-hari itu untuk berlibur di rumah bibinya. Dua minggu telah berlalu, hari masuk sekolahpun telah tiba, namun anak itu enggan untuk pulang, dia ingin tinggal lebih lama lagi disana. Melihat kebahagiaan keponakannya itu, bibinya pun member penawaran yang menggiurkan untuk anak itu, “nak apa kau ingin bersekolah disini?,” tanya sang bibi, mendengar ucapan bibinya, anak itu terdiam. Raut mukanya berubah, dahinya berkerut, seolah memikirkan sesuatu yang berat. Bibinya tersenyum melihatnya, anak itu masih terdiam, bibi itu berpaling darinya dan mendekat pada ibunya. Wanita itu berkata pada ibu anak itu, ”Mbak,,gimana kalau Dani biar sekolah disini saja?, nampaknya anak itu menyukai suasana disini..”,, mandengar ucapan adik iparnya, ibu anak itu terdiam. Kemudian berpaling mendekati anaknya. “Nak,,apa kau ingin tinggal lebih lama lagi disini?, katakan nak… ibu tidak keberatan jika kau ingin begitu” tanya ibu itu pada anaknya. Anak itu masih tetap terdiam. Kemudia wanita itu berpaling dari anaknya yang Nampak bimbang.
Beberapa saat kemudian, anak itu terbangun dan berjalan menuju kakeknya, dia berkata pada kakeknya, ”Kek, gimana kalau aku sekolah disini?”, tanya anak itu lugu. Sang kakek tersenyum dan menjawab, ”tentu, kau boleh sekolah disini, kakek senang kalau kau mau tinggal disini”, jawab kakek itu. Anak itu tersenyum setelah mendengar jawaban dari kakeknya, seolah mendapatkan sesuatu yang menguatkannya.
Anak itu berlari menuju ibunya yang berada didapur, ”Bu, aku mau sekolah disini…” ucap anak itu pada ibunya. Ibu itu sejenak terdiam seolah takpercaya dengan apa yang baru dia dengar. “Kenapa bu??”, sambung anak itu, “Iya, kamu boleh sekolah disini,,besok biar pamanmu urus kepindahanmu..”, jawab ibu anak itu.
Keesokan harinya, keesokan harinya pamannya pulang kerumah mereka untuk mengurus kepindahan sekolahnya. Setelah sampai, paman itu langsung menuju ke sekolah untuk mengurus kepindahan sekolah Dani ke rumah bibinya diluar kota. Setelah semua selesai, lelaki itu segera kembali kerumah dimana anak itu tinggal sekarang. Hari itu juga, Dani didaftarkan di salah satu SD di tempat daerah itu, SD itu adalah SDN Tegal Rejo I, yang berjarak kurang lebih 6 Km dari rumah itu.
Hari itu dia mendaftar, esok hari dia mulai masuk di sekolah barunya. Dia merasakan suasana baru yang berbeda dengan suasana dimana dia bersekolah dulu. Dalam waktu singkat, anak itu memiliki banyak teman, karakter asli dari anak itu. Dia mudah berbaur dengan lingkungan barunya, dia pandai bersosialisasi dengan lingkungan yang baru saja dia masuk didalamnya.
Ada yang menarik disini, teman-teman Dani bukan hanya berasal dari anak-anak sebayanya, tetapi juga banyak kakak kelas yang menyukai kepribadian anak usia 7 tahun itu. Diantara teman sebayanya, yang paling dekat dengan anak itu adalah Adi, Adi Rachman Saputra lengkapnya. Sekalipun baru bertemu dengannya beberapa hari, namun anak itu cepat mengerti dengan sifat-sifat yofi. Ada seorang dari kakak kelasnya yang juga begitu dekat dengan anak itu, Arvi. Siswi kelas 5 ini sangat menyukai anak itu, maklum dia tidak memiliki saudara, sama seperti Dani. Dia sudah menganggap Dani seperti adik kandungnya sendiri, setiap permasalahan yang sulit dipecahkan oleh anak itu, selalu dibantu oleh Arvi.
Tidak hanya Arvi, masih ada satu lagi kakak kelas yang begitu erat hubungannya dengan anak itu. Okta, dia juga salah seorang siswi kelas 5 sekelas dengan Arvi. Dia juga masih sepupu Arvi, mereka bertiga berteman baik disekolah itu. Mereka tinggal di satu desa yang sama, pantaslah jika mereka cepat saling mengenal.
Di masa-masa ini, ada satu gejala yang pelan-pelan mengubah sifat dan perilaku siswa kelas 3 itu. Mereka bertiga berteman baik, namun ada hal yang berbeda antara hubungan anak itu dengan Arvi, dan hubungannya dengan okta, hubungan Dani dan arvi yang mengacu pada persaudaraan berbeda dengan hubungan antara Dani dan okta. Hari terus berganti, ada satu rasa yang mulai dirasakan oleh kedua anak itu, rasa yang belum pernah tercetus dipikiran mereka. Hubungan mereka yang semakin erat, berubah dari teman biasa menjadi yang takbiasa.
Keduanya saling menyayangi satu sama lain. Namun sayang, hubungan itu tidak dapat berlangsung lama.
Waktu terus berlalu, 8 bulan kemudian terdengar kabar dari dari kakeknya didesa, nenek yang dulu menyekolahkannya sakit. Dani dan ibunya diminta untuk pulang kerumah kakeknya, untuk merawat neneknya yang tengah sakit.
Belum genap setahun dia tinggal dirumah bibinya, dia harus kembali pulang kerumah kakek neneknya. Hari terakhir dia berada dirumah bibinya, saat itu dia telah memasuki tahun ajaran baru dikelas 4. Hari terakhir dia masuk sekolah, dia ingin berpamitan dengan teman-teman yang selama ini membantunya. Semua teman telah dia temui, ada salah seorang teman yang tidak dia temukan, okta. Saat dia ingin berpamitan dengan semua teman, dia tidak menemukan okta di setiap sudut sekolah, hari itu okta tidak masuk karena sakit. Hari terakhir dia disana, dia tidak bertemu dengan gadis yang disayanginya. Sesal dalam hatinya, tak sempat dia berpamitan dengan orang yang disayanginya.

 

Kamis, 02 Februari 2012

selintas malam


“Bunga Kertas”

Mekarnya ditanah gersang,
Awal kisah pertemuan,,,
Bunga kertas,,arum tubuhmu..
melangkah disisa waktumu,,
menahan rasa,,bimbang hatimu

Bunga yang mekar  tlah hilang…
Tersapu angin jalanan,
Bunga kertas,sungguh sayang…
Tlah menjadi pastiNya,
Kau dan aku,,,,tiada bersama..

Bunga bunga kertas,….
Sampaikanlah,,,rasa ini…
Ku titipkan salam dari hati…

Bunga kertas kutitipkan…
Raga ini….