Ini cerita sebuah cover, alias sampul muka. Teramat penting memang
posisinya, sangat dihargai dan diutamakan. Paling tidak mewakili isi
dalam sebuah album rekaman, juga buku atau barang apapun. Cover bias
juga pembungkus memang… Kali ini memang soal cover ebuah album rekaman.
Dan bukan sebuah album rekamn biasa, maksudnya “musik yang biasa-biasa”
saja. Ini album rekaman seorang seniman Sujiwo Tejo. Multi
instrumentalis. Pelbagai aktifitas seni sudah dilakoninya. Seperti apa
baiknya cover album rekaman seorang seniman “sekelas” Sujiwo Tejo? Itu
dasar pemikirannya. Maka tiga orang asyik melempar ide, dengan
argumentasi masing-masing. Semua sebenarnya ujung-ujungnya kepengen
dapat memancing orang untuk membeli album rekaman ini. Lantas, kita akan
“grab” pasar yang mana sih?
Ada ide lukisan karya Tejo sendiri tentu. Tejo mengangguk setuju.
Lukisan yang mana? Ditunjuk lukisan ini, ini lukisan Petruk kan? Tejo
senyum dan agak kaget, lho kok kamu tahu ini Petruk? Tapi dia buru-buru
menjawab lagi, pas juga album ini dengan cover tersebut. Petruk kan
tokoh yang bias mewakili isi albumku ini, ucap Tejo.
Lalu datang lagi
ide, jngan lukisan. Kenapa? Terlalu “berkelas”. Kenapa memangnya?
Karena nanti susah dimaknai oleh kebanyakan orang. Gambar lukisan,
kesannya terlalu segmented gitu. Tapi nanti dulu, aku berpikir justru
karma figurnya Petruk, bukankah menjadi lebih cair dan “merakyat”.
Tunggu dulu…eit tunggu dulu…
Argumentasi makin menyala-nyala. Tapi
ingat saja, semua tetap berniat baik kok. Dan ketika dilempar kembali
ke sang seniman, Sujiwo Tejo sendiri, dia langsung menjawab,”Kalian
tentukanlah. Jangan aku. Aku Percaya, hasilnya pasti baik dan
bermanfaat. Pasti niatnya kan baik?”
Alhasil dipanggil semua
musisi, beberapa rekan dekat, kerabat. Disuruh menilai, konsep mana yang
terbaik. Jadinya semua menerima, foto diri Tejo dengan kostum unik
merah-putih bergaris, “jas” hitam. Ala Madura? Pas dong dengan figure
Tejo? Juga karena lebih unik, iseng, lucu dan pasti akan gampang
diterima semua kalangan…..
Ide di bawa ke bagian design. Di tangan “mbah” Elia, sang designer jadinya memang ditafsirkan lebih “iseng”. Tidak diambil yang frontal menghadap ke depan, tapi menyamping dan tertawa lebar. Tambahin kumis dong yang melintang! Mbah sigap mengakali Tejo jadi berkumis tebal….
Ide di bawa ke bagian design. Di tangan “mbah” Elia, sang designer jadinya memang ditafsirkan lebih “iseng”. Tidak diambil yang frontal menghadap ke depan, tapi menyamping dan tertawa lebar. Tambahin kumis dong yang melintang! Mbah sigap mengakali Tejo jadi berkumis tebal….
Lebih unik, proses terjadinya foto yang
lantas menjadi cover. Karena konsep menymping tidak ada dalam scenario
sebenarnya. Itu ide iseng dari fotografer, seorang hobbyist serius
perempuan bernama Nelly dan….sang “art director” (kebetulan si art
director dadakan tersebut adalah “mantan” fotografer). Foto outdoor
tersebut setelah berbagai gaya, nah terakhir si “art director” iseng
aja, “Tejo coba kamu menyamping, mbak Nelly ambil dia deh sambil duduk
menyamping begitu.” Jeprat jepret, itulah frame-frame “gaya” pamungkas
session foto pada sore itu!
Jadilah foto-foto dalam file dikirimkan ke Mbah Elia. Diolah mbah, dipilah-pilih. Jadinya seperti yang semua bias lihat.
Jadilah foto-foto dalam file dikirimkan ke Mbah Elia. Diolah mbah, dipilah-pilih. Jadinya seperti yang semua bias lihat.
Pokoke
ujungujungnya kan baik dan benar, begitu senyum Tejo ketika melihat
“hasil final”, setelah lewat proses ramai tapi tetap “santun” dan damai.
Pas kan, damai yuk damai, berjuang tapi tetap santai...
0 komentar:
Posting Komentar